Jakarta, CNBC Indonesia – Persoalan Laut China Selatan (LCS) diungkap dalam debat ke-3 Calon Presiden 2024, Minggu. Ketiga kandidat calon presiden punya pandangan masing-masing soal LCS, sehingga memunculkan perdebatan panas.
Capres nomor urut 1, Anies Baswedan, menyoroti pentingnya peran ASEAN dalam penyelesaian konflik. Lalu, Capres nomor urut 02, Prabowo Subianto, menekankan urgensi peningkatan kekuatan pertahanan menghadapi situasi LCS.
Sementara Capres nomor urut 03, Ganjar Pranowo, menyoroti perlunya kesepakatan bersama untuk mencegah eskalasi konflik dan pentingnya penguatan patroli di kawasan LCS. Memangnya, apa awal mula persoalan LCS?
Mula persoalan konflik LCS beranjak dari peningkatan aktivitas China di kawasan tersebut. Peningkatan ini berkaitan dengan klaim sepihak atas keseluruhan kawasan LCS, bukan lagi sebagian, oleh China.
Klaim ini berawal dari konsep nine-dash line atau sembilan garis putus-putus yang dibuat Beijing. Garis-garis imajiner ini dibuat berdasarkan catatan sejarah berdasarkan dokumen China, yang tidak diketahui kebenarannya, dan jelas ketinggalan zaman.
Mengutip tulisan Bec Strating “China’s nine-dash line Proves Stranger than Fiction” di lembaga think-thank Lowyinstitute, China memaparkan konsep ini pada 1993 dan langsung mengklaim kepemilikan 3 juta km2 di LCS atau 90% dari seluruh lautan. Jelas hal ini melanggar aturan internasional, salah satunya United Nations Convention on the Law of the Sea tahun 1982 (UNCLOS).
Ambisi China ini disikapi serius karena dianggap sebagai ancaman kedaulatan oleh negara sekitarnya, seperti Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, termasuk Indonesia. Mereka jelas tidak senang atas tingkah laku China yang mondar-mandir dan malah mengklaim beberapa kepulauan di LCS.
Dalam kasus Kepulauan Spratly, misalkan. Cina harus berhadapan dengan Vietnam, Malaysia, dan Filipina. Sementara dengan Indonesia, terjadi pada Kepulauan Natuna.
Sayangnya, elite politik Beijing seakan tutup mata dan telinga atas permasalahan ini. Berbagai langkah diplomasi selalu menemui jalan buntu. Atas dasar inilah, satu-satunya opsi terbaik adalah penguatan angkatan perang. Ketika ini terjadi, maka muncul masalah baru.
Di sektor militer Beijing jelas unggul atas negara-negara Asia Tenggara. Pada sisi lain, pengerahan angkatan perang menjadi simalakama bagi China karena membuatnya terlibat permasalahan lebih jauh dengan Paman Sam. Dalam “China, the USA and the South China Sea Conflicts” (2003), AS yang punya pangkalan militer di Filipina tidak terima atas agresivitas China dan ingin menghalangi Negeri Tirai Bambu.
Jika persaingan AS-China di LCS berlarut, tidak menutup kemungkinan perang terbuka akan terjadi. Apalagi posisi LCS juga berkaitan dengan Taiwan yang juga konflik dengan China.
Pada sisi lain, konflik LCS tak hanya persoalan politik dan sejarah, tetapi juga soal ekonomi. Pasalnya, LCS adalah ‘harta karun’ yang menjadi jalur terpenting di dunia. Ada nilai ekonomis, politis, dan strategis di sana.
LCS diketahui jadi salah satu pintu gerbang komersial bagi sebagian besar industri logistik dunia dan menjadi sub-wilayah ekonomi strategis kawasan Indopasifik.
Menurut United Nations Conference on Trade and Development, perdagangan global senilai US$ 3,37 triliun, atau 21% dari seluruh perdagangan global, melewati LCS pada 2016. Bahkan sekitar 2030, diperkirakan hampir 100% minyak bumi dari negara Arab melewati LCS.
Sementara menurut US Energy Information Agency (EIA), LCS juga kaya sumber daya alam. Diperkirakan ada 11 miliar barel minyak mentah dan 190 triliun kubik gas yang belum dieksplorasi. Fakta ini jelas membuat siapapun tergiur.
Tak heran kalau Vietnam, Filipina, Malaysia, Cina, dan Indonesia berada di paling depan untuk menjaga teritorinya di LCS. Alhasil, Laut China Selatan pun menjadi salah satu wilayah sengketa, dan berpeluang menjadi tempat baru konflik terbuka. https://bukanlah.com/